Senin, 19 November 2012

cerpen : cucuran keringat

Burung ramai berkicau menyambut datangnya pagi. Aku terbangun menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Hari ini ada ulangan matematika untunglah semalam sempat belajar. Aku segera bersiap diri dan membantu ibu sekedarnya di dapur.  Setelah siap aku segera menuju sekolah berjarak 10 km yang harus kutempuh dengan bus. Aku harus pergi pagi-pagi agar tak ketinggalan bus.
Di atas bus aku bertemu Vina, teman satu sekolah yang selama ini tak pernah kulihat naik bus,
biasanya dia selalu diantar sopir pribadi. Aku heran, entah kenapa pagi ini dia naik bus.
“ Hai, tumben berangkat naik bus? ” sapaku padanya.
“ Apa urusanmu? Aku mau naik bus mau dianter masalah buat lu? ” jawab dia sambil memandang sinis padaku.
“ Aku Cuma sekedar tanya aja kok, nggak bermaksud apa-apa. “ jawabku.
“ udahlah nggak usah sok sibuk dengan urusanku, urus aja ibumu jualan pisang. “ bentak dia.
Aku terdiam mendengarnya. Hatiku merasa sakit mendengar hinaan itu.Akhirnya aku duduk menjauh dari dia. Sungguh dia terlalu berlebihan menghina orang yang kusayangi selama ini.
Sesampainya di sekolah, aku segera menuju ke kelasku.Tak kuhiraukan lagi Vina yang baru turun dari bus.Aku terlalu sakit mendengar hinaan tadi.Biarlah hanya Tuhan yang tahu rasa sakit ini.
*******
KRRRIIIINGGG !!!!
Bel istirahat berbunyi.
            BRRUUUKKK !!!
Tiba-tiba tubuhku menabrak seseorang.
“ Hehh, jalan lihat jalan dong, jangan asal nabrak. “ bentakan Vina terdengar di telingaku.
“ Maaf aku nggak sengaja. “ jawabku.
“ Maaf maaf, gampang aja minta maaf, sakit tahu, aku gegar otak gimana? Mampu lu bawa gue ke rumah sakit dan bayarinnya. Gue yakin anak penjual pisang mana sanggup bayarin operasi di rumah sakit.“ bentak Vina sambil berlalu meninggalkanku.
Aku hanya terdiam mendengarnya.Sungguh Vina terlalu menghinaku. Setelah Vina udah jauh melangkah, aku segera menuju ke ruang TU sebelum waktu istirahat habis.
“ Fara, kapan kamu akan melunasi uang SPP yang sudah menunggak 6 bulan ini? “ tanya Bu Rena, pengurus keuangan di sekolah ini.
“ Emmm…. Maaf Bu Rena ibu saya belum punya uang kemarin baru dipakai untuk berobat penyakit Typus.“ jawabku sambil menundukkan kepala tidak berani memandang Bu Rena yang memandang tajam ke arahku.
“ Apa pun alasanmu saya tidak terima. Kemarin sudah diberi waktu selama sebulan.Ibumu menyanggupinya. Ini surat untuk ibumu. Besok harus datang.“ kata Bu Rena.
“ Iya, Bu. “ jawabku sambil menerima surat dari Bu Rena.
“ Kalau ibumu belum juga membayar uang SPP itu, kamu dikeluarkan dari sekolah ini. Oke, sekarang kamu boleh keluar dari ruangan ini“ kata Bu Rena lagi.
“ Iya, Bu, permisi.” Pamitku sambil berdiri dan keluar dari ruang TU.
Aku terpikirkan akan kata-kata Bu Rena dan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini. Aku nggak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran kimia. Apa yang harus kulakukan untuk membantu Ibu untuk membayar SPPku yang belum terbayar selama 6 bulan ini. Aku ingin kerja untuk meringankan beban Ibu. Tapi aku mau kerja apa?? Aku pusing.
*******
“ Assalamu’alaikum “ ucapku sebelum masuk ke rumah.
“ Wa’alaikumsalam, sudah pulang Ra? “ tanya Ibu.
“ Sudah, Bu. “ jawabku sambil menghempaskan tubuhku ke kursi di ruang tamu.
“ Kamu kenapa kok kelihatan murung? Ada masalah apa? Cerita sama Ibu siapa tahu Ibu bisa bantu. “ tanya ibu yang melihat tingkahku.
“ Emmmm.. ini Bu ada surat panggilan dari sekolah untuk Ibu. Masalah tentang pembayaran SPP yang sudah menunggak. Katanya Bu Rena jika nggak bisa melunasi secepatnya aku mau dikeluarkan dari sekolah.“ jawabku sambil menundukkan kepala tidak berani memandang ibu.
Ibu terdiam mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku.
“ Yaudah nanti Ibu usahain untuk melunasi. Sekarang kamu pergilah ganti baju, sholat terus makan.Ibu udah nyiapin di dapur.” kata Ibu setelah berpikir beberapa saat.
“ Iya, Bu. “ jawabku menurut.
*******
“ Fara, ini uang untuk bayar SPPmu lunas. “ kata Ibu sebelum aku pamit berangkat sekolah pagi ini.
“ Ibu dapat uang darimana? “ tanyaku heran.
“Sudahlah nggak usah tanya, bawa aja uang ini, semoga cukup buat bayar SPPmu. “ jawab Ibu.
Aku pun hanya terdiam mendengarnya.Hatiku bertanya-tanya, darimana Ibu bisa secepat itu mendapatkan uang itu.Aku kasihan melihat Ibu yang berjuang mempertahankan sekolahku.Seandainya Ibu mengizinkan aku ingin bekerja membantunya, tetapi Ibu tak pernah mengizinkannya.
******

Sepulang sekolah aku tidak melihat Ibu.Rumah terkunci rapat. Entah dimana Ibuku berada.Tak biasanya sesore ini Ibu tidak di rumah.Aku masuk menuju dapur, perutku terasa lapar.Aku menunggu Ibu hingga malam tapi tak juga Ibu pulang.Akhirnya aku terlelap di ruang tamu. Jam 21.00 ibu membangunkanku, menyuruhku tidur ke kamar. Saat itu aku melihat wajah Ibu sangat kelelahan.Aku ingin bertanya tetapi rasa kantukku sangat berat.Akhirnya kulangkahkan kaki ke kamar dan tidur.
Pagi harinya, aku sudah tidak menjumpai Ibu di dapur.Entah dimana sepagi ini Ibu pergi.Di meja dapur sudah tersedia sarapan untukku.Setelah sarapan aku berangkat sekolah tanpa pamit.Ibu tak kutemui walau aku sudah memanggil namanya berulangkali.Aku khawatir, dimana sebenarnya Ibu berada.
Pagi ini aku tidak konsentrasi mengikuti pelajaran demi pelajaran yang diberikan guruku.Pikiranku masih terpaut pada Ibu.Aku khawatirkan terjadi apa-apa pada Ibu. Siangnya saat aku pulang aku tak menjumpai Ibu lagi.Akkhh Ibu dimana Ibu berada.
Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata.Aku menunggu kepulangan Ibu.Aku ingin bertanya ibu dua hari kemana saja.Pergi pagi pulang malam. Tak mungkin Ibu jualan pisang sampai malam.
Ketika angka jarum jam menunjukkan angka 9 malam, kulihat Ibu pulang. Aku membukakan pintu depan.
“ Belum tidur, Ra? “ tanya ibu terkejut.
“ Belum, Bu. Ibu darimana kok jam segini baru pulang? “ tanyaku.
“ Ibu kerja, Ra. “ jawab Ibu.
“ Kerja dimana, Bu? Kerja kok sampai malam begini?“ tanyaku lagi.
“ Iya, Ra. Ibu kerja untuk membayar hutang Ibu. Hanya dengan kerja sebagai pembantu di rumah Pak Rahmad ini untuk melunasi hutang Ibu.Ibu tidak ingin kamu berhenti sekolah hanya gara-gara SPPmu nunggak.Ibu rela kerja apa saja asal kamu tetap sekolah. Hanya kamu satu-satunya harapan Ibu.Ibu ingin kamu tidak hidup menderita seperti Ibu.“ panjang lebar ibu menjelaskan padaku.
Aku hanya terdiam dan menangis mendengarnya.Ku peluk erat tubuh Ibu yang telah membesarkanku. Sungguh pengorbanan Ibu sangat besar untukku setelah kepergian Ayah 2 tahun yang lalu.Dengan cucuran keringatnya Ibu mendidikku dan tetap ingin membuat hidupku sukses.Ibu telah menjadi pahlawanku yang rela berkorban demi anaknya ini satu-satunya.Aku tidak ingin membuat Ibu kecewa.Aku berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh Ibu. Terimakasih Ibu pengorbananmu sungguh besar.Kaulah pahlawanku dalam hidupku.