Jumat, 13 Februari 2015

Luka yang Kau Beri part 4

Siang itu ketika aku sedang makan siang di kantin kantor, Riski tiba-tiba saja datang menghampiriku. Aku pura-pura tidak melihat dan menikmati makan siangku walau debaran di dada semakin menjadi ketika dia semakin dekat denganku.
            “Haii, makan sendirian yaa? Boleh saya duduk di sini? Semua meja sudah penuh nih. Boleh yaa?” tanya Riski sambil mengambil tempat duduk di depanku.
            Aku heran kenapa dia tidak makan siang di restoran yang mahal. Kenapa dia makan siang di
sini. Ahh entahlah aku tak ingin memikirkannya lagi.
            “Eeemm ya silahkan, Pak.” Sahutku sambil makan dan tidak melihat ke arahnya.
            “Sering makan di sini sendirian kah?”
            “Eerrr....tidak juga Pak. Biasanya makan sama Santi dan Kak Rosa kebetulan mereka tadi di jemput sama tunangannya. Jadi saya makan sendiri tidak ada teman.” Jawabku sambil tersenyum gugup.
            “Oohh. Kamu sendiri tidak dijemput sama seseorang yang istimewa di hati kah?”
            “Kebetulan dia sedang sibuk sekarang, Pak. Jadi tidak bisa makan siang bersama.”
            “Ooohh yayaya.” Kedengaran suaranya agak kecewa.
            “Lhaa Bapak sendiri tidak makan sama isteri Bapak?” tanyaku kembali.
            “Wahh kekasih saja saya belum punya apalagi istri. Saya masih menunggu seseorang yang sangat saya sayangi di masa lalu. Mantan kekasih yang telah saya sia-siakan cinta tulusnya.” Kata Riski sambil merenungku dengan tatapan penuh makna.
            Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah lain. Sedari dulu aku tak mampu menatap tatapan sendunya. Aku selalu kalah. Selalu membuat debaran di dada semakin terasa cepat. Ahh tatapan itu tak pernah berubah. Tatapan yang dulu pernah kumiliki. Tuhan, kenapa Kau kirimkan dia kembali lagi kepadaku? Aku tak mampu menghadapinya lagi. Cinta ini masih utuh untuknya. Walau telah bertahun aku tak bertemu dengannya.
            “Kamu tak mau tahu kah siapa yang ku tunggu?” tanya Riski tiba-tiba setelah melihatku diam saja.
            “Eemmm... Sissy mungkin?” kataku tanpa kupikir panjang.
            “Sissy? Kamu kenal dia? Berarti kamu Rea Azzalea yang kukenal di UPY kan? Aku tidak salah orang kan kemarin. Why? Kenapa kamu pura-pura mengenaliku, Rea. I miss you.”
            “Errr... Maaf pak, saya ke kantor dulu. Maaf saya duluan” pamitku tergesa-gesa menyadari ketelanjuranku membongkar rahasia yang kucoba kututupi darinya.
            Tiba-tiba terasa lenganku dipegang. Hatiku berdebar tidak karuan, aku tahu dia coba menahanku meski telah sekuat tenaga aku coba melepaskan lenganku yang dipegangnya. Aku kenal dia. Dia tak akan membiarkan sebelum memperoleh apa yang diingankan. Saat-saat seperti aku butuh seseorang yang mampu membantuku lepas darinya.
            “Why, Re? Why?” kedengaran suara lirihnya bertanya.
            Aku diam saja. Aku tak berani memandangnya karena aku akan kalah dengan tatapannya.
            “Kamu masih marah denganku kah? Aku minta maaf telah menyakitimu. Please, Re, katakan sesuatu. Jangan diam saja seperti ini.” Rayunya.
            “REA !!!” tiba-tiba kudengar Santi memanggilku dari arah pintu kantin bersamaan suara hape Riski berdering.
            Kuhela nafas lega saat Riski melepaskan lenganku untuk mengambil hape di sakunya.
            “Jangan harap kamu lepas dariku. Kubebaskan kamu kali ini tapi tidak untuk esok.”

            Sempat kudengar bisikan lirih Riski namun aku tak peduli. Aku berharap esok aku tak berjumpa lagi dengannya. Meski kemungkinan itu kecil karena aku dan dia sekantor. Esok dan hari-hari selanjutnya aku akan pastikan aku tak bertemu dengannya. 

0 komentar:

Posting Komentar