Siang itu ketika aku sedang makan siang di kantin kantor,
Riski tiba-tiba saja datang menghampiriku. Aku pura-pura tidak melihat dan menikmati
makan siangku walau debaran di dada semakin menjadi ketika dia semakin dekat
denganku.
“Haii,
makan sendirian yaa? Boleh saya duduk di sini? Semua meja sudah penuh nih.
Boleh yaa?” tanya Riski sambil mengambil tempat duduk di depanku.
Aku
heran kenapa dia tidak makan siang di restoran yang mahal. Kenapa dia makan
siang di
sini. Ahh entahlah aku tak ingin memikirkannya lagi.
sini. Ahh entahlah aku tak ingin memikirkannya lagi.
“Eeemm
ya silahkan, Pak.” Sahutku sambil makan dan tidak melihat ke arahnya.
“Sering
makan di sini sendirian kah?”
“Eerrr....tidak
juga Pak. Biasanya makan sama Santi dan Kak Rosa kebetulan mereka tadi di
jemput sama tunangannya. Jadi saya makan sendiri tidak ada teman.” Jawabku
sambil tersenyum gugup.
“Oohh.
Kamu sendiri tidak dijemput sama seseorang yang istimewa di hati kah?”
“Kebetulan
dia sedang sibuk sekarang, Pak. Jadi tidak bisa makan siang bersama.”
“Ooohh
yayaya.” Kedengaran suaranya agak kecewa.
“Lhaa Bapak
sendiri tidak makan sama isteri Bapak?” tanyaku kembali.
“Wahh
kekasih saja saya belum punya apalagi istri. Saya masih menunggu seseorang yang
sangat saya sayangi di masa lalu. Mantan kekasih yang telah saya sia-siakan
cinta tulusnya.” Kata Riski sambil merenungku dengan tatapan penuh makna.
Aku
mengalihkan pandangan mataku ke arah lain. Sedari dulu aku tak mampu menatap tatapan
sendunya. Aku selalu kalah. Selalu membuat debaran di dada semakin terasa
cepat. Ahh tatapan itu tak pernah berubah. Tatapan yang dulu pernah kumiliki.
Tuhan, kenapa Kau kirimkan dia kembali lagi kepadaku? Aku tak mampu
menghadapinya lagi. Cinta ini masih utuh untuknya. Walau telah bertahun aku tak
bertemu dengannya.
“Kamu
tak mau tahu kah siapa yang ku tunggu?” tanya Riski tiba-tiba setelah melihatku
diam saja.
“Eemmm...
Sissy mungkin?” kataku tanpa kupikir panjang.
“Sissy?
Kamu kenal dia? Berarti kamu Rea Azzalea yang kukenal di UPY kan? Aku tidak
salah orang kan kemarin. Why? Kenapa kamu pura-pura mengenaliku, Rea. I miss
you.”
“Errr...
Maaf pak, saya ke kantor dulu. Maaf saya duluan” pamitku tergesa-gesa menyadari
ketelanjuranku membongkar rahasia yang kucoba kututupi darinya.
Tiba-tiba
terasa lenganku dipegang. Hatiku berdebar tidak karuan, aku tahu dia coba
menahanku meski telah sekuat tenaga aku coba melepaskan lenganku yang
dipegangnya. Aku kenal dia. Dia tak akan membiarkan sebelum memperoleh apa yang
diingankan. Saat-saat seperti aku butuh seseorang yang mampu membantuku lepas
darinya.
“Why, Re?
Why?” kedengaran suara lirihnya bertanya.
Aku diam
saja. Aku tak berani memandangnya karena aku akan kalah dengan tatapannya.
“Kamu
masih marah denganku kah? Aku minta maaf telah menyakitimu. Please, Re, katakan
sesuatu. Jangan diam saja seperti ini.” Rayunya.
“REA
!!!” tiba-tiba kudengar Santi memanggilku dari arah pintu kantin bersamaan
suara hape Riski berdering.
Kuhela
nafas lega saat Riski melepaskan lenganku untuk mengambil hape di sakunya.
“Jangan
harap kamu lepas dariku. Kubebaskan kamu kali ini tapi tidak untuk esok.”
Sempat
kudengar bisikan lirih Riski namun aku tak peduli. Aku berharap esok aku tak
berjumpa lagi dengannya. Meski kemungkinan itu kecil karena aku dan dia
sekantor. Esok dan hari-hari selanjutnya aku akan pastikan aku tak bertemu
dengannya.
0 komentar:
Posting Komentar